Jumat, 21 Desember 2018

Sejarah Wali Songo

       Wali Songo merupakan ulama-ulama yang terkenal menyebarkan agama islam di jawa. Mereka menyebarkan agama islam dengan cara damai melalui akulturasi budaya tanpa merusak ajaran islam yang murni. Wali Sanga menyebarkan agama islam dengan penuh kearifan.
       Tokoh-tokoh yang terhimpun dalam wali songo adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Drajat. Berikut ini penjelasan sinkat mengenai tokoh-tokoh Wali Songo.

1. SUNAN GRESIK (MAULANA MALIK IBRAHIM)
       Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Sunan Gresik dan Kakek Bantal. Sunan Gresik merupakan ulama dari Persia. Ia lahir di Samarkand (as-samarqandy), Asia Tengah. Ia merupakan penyebar agama islam pertama di pulau jawa. Sunan Gresik memulai dakwahnya dari Desa Leran, Gresik. Sunan Gresik bergaul dengan rakyat kecil sebagai petani. Ia adalah orang yang ahli dalam bercocok tanam sehingga rakyat sekitar tertarik untuk berguru tani. Ia juga dipercaya sebagai ahli tata negara yang dikagumi kalangan bangsawan. Sunan Gresik juga dikenal sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren. ia membangun pondok tempat belajar agama di Leran, Gresik.
       Meskipun Maulana Malik Ibrahim bukan orang jawa, namanya terkenal di kalangan masyarakat jawa, sebab ia menjadi pelopor penyebaran islam di Jawa dengan pusat kegiatanya di Gresik. Maulana Malik Ibrahim wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 Hijriah atau 9 April 1419 M dan dimakamkan di Gresik.

2. SUNAN AMPEL (RADEN RAHMAT)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEK4fjnUhFgdKWXlEgyP9ZLWrY6iioYDUX-sDKWVzt9y78wFCAsChEfqjJ822DVFGY1r2YsmGOcH3XWqOGr3bzSOnxtDNL6euUo_avcpIFYmjvu5o8ANViyNjJaOcb9xoaWDql0HkavKJf/s1600/sunan_ampel.jpeg
       Sunan Ampel adalah dari Maulana Malik Ibrahim. Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat. Ia bersama adiknya, Sayid Ali Murtadha masuk pulau Jawa pada tahun 1443 M. pada tahun 1450 M, Raden Rahmat menikah dengan Nyi Ageng Manila, putri Bupati Tuban yang sudah memeluk agama islam. Selanjutnya, Raden Rahmat menetap di daerah Ampeldenta pemberian dari Raja Majapahit. Di sana Raden Rahmat mendirikan masjid dan membuka pondok pesantren sehingga ia dikenal dengan Sunan Ampel.
       Sunan Ampel adalah seorang mufti dari negeri Campa yang mengajarkan islam secara lurus. istilah pesantren dan santri diyakini pertama kali digunakan oleh Sunan Ampel. Wejangan Sunan Ampel yang terkenal adalah falsafah Mo Limo, Moh artinya ora gelem (tidak mau) dan Limo artinya perkara lima. jadi, maksud Mo Limo ialah tidak mau melakukan lima perkara yang terlarang, yaitu:
a.     moh main (tidak mau judi),
b.     moh ngombe (tidak mau minum-minuman yang memabukkan),
c.     moh madat (tidak mau minum atau menghisap candu atau ganja),
d.     moh maling (tidak mau mencuri), dan
e.     moh madon (tidak mau berzina).
       Sunan Ampel memiliki dua putra yang juga termasuk Wali Songo, yaitu Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Ia juga berhasil mendidik tokoh wali lainnya, seperti Sunan Gresik dan Sunan Kalijaga. Sunan Ampel juga menjadi perencana Kerajaan Demak. Dialah yang melantik Raden Patah sebagai Sultan Demak yang pertama tahun 1403 Saka (1481 M). Pada tahun 900 hijriah (1494 M), Sunan Ampel wafat. Jenazahnya dimakamkan di Ampeldenta, Surabaya.

 3. SUNAN BONANG (MAKHDUM IBRAHIM)
Hasil gambar untuk sunan bonang     
       Sunan Bonang lahir pada tahun 1450 M. Ia adalah putra Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila. Sunan Bonang belajar dasar-dasar agama dari pesantren ayahnya di Ampeldenta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana dan kemudian menetap di Bonang (sebuah desa kecil di Lasem, Jawa Timur)dan mendirikan pesantren yang sekarang dikenal dengan sebutan Watu Layar.
       Sunan Bonang adalah seorang yang tawaduk dan sangat disiplin, terutama dalam menempuh pelajaranya. Sebagai putra seorang pemimpin Wali Songo, sudah bisa dipastikan bahwa beliau mengalami penggemblengan jasmani dan rohani yang sangat berat. Beliau juga gemar menuntut ilmu. Dikisahkan bahwa sewaktu Sunan Bonang masih muda, bersama Sunan Giri (Raden Paku) berniat akan pergi menuntut ilmu ke Mekah.Namun, sebelum berangkat ke Mekah mereka berdua singgah terlebih dahulu ke Pasai (sekarang wilayah Aceh), untuk menghadap Syaikh Maulana Ishaq yang bukan lain adalah ayahanda dari Sunan Giri. Di sana mereka menuntut ilmu kepada Syaikh Maulana Ishaq dalam waktu yang cukup lama. Bahkan akhirnya mereka tidak jadi pergi ke Mekah, dan langsung pulang ke tanah Jawa setelah selesai menuntut ilmu.
       Dalam berdakwah, Raden Makhdum menggunakan seni, budaya, dan tradisi ,masyarakat. Salah satunya adalah sebuah alat musik pukul yang bernama bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu. 
       Selain menggunakan seni musik, Sunan Bonang juga berdakwah melalui karya sastra, yaitu dengan menggubah suluk. Suluk adalah karya sastra yang berupa tembang atau syair yang berisi ajaran tasawuf. Karya beliau yang terkenal adalah linglung dan bonang.
       Dalam berdakwah, Sunan Bonan sangat gemar mengunjungi daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura, maupun Pulau Bawean. Di pulau inilah, pada tahun 1525 M ia meniggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban. Konon karena adanya perebutan jenazah ini, di Bawean juga terdapat makam yang juga diyakini sebagai makam Sunan Bonang.

4. SUNAN GIRI (RADEN PAKU/AINUL YAQIN)  
      
       Sunan Giri adalah putra Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Maulana Ishak adalah sahabat dari Sunan Ampel. Sunan Giri lahir di Blambangan pada tahun 1442 M. Ia diyakini sebagai tokoh fakih dan menguasai ilmu falak (perbintangan). Ia adalah murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang.
       Di masa menjelang keruntuhan Majapahit, Raden Paku dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden Patah naik menjadi Sultan Demak. Ia diberi gelar Prabu Satmata, Ratu Tunggul Kalifatullah Mukminin. Ketika Sunan Ampel wafat, Sunan Giri menggantikanya sebagai mufti tanah Jawa. Sunan Giri dikenal karena pengetahuanya yang luas dalam ilmu fiqih. Orang pun menyebutnya Sultan Abdul Fakih. Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa, salah satu karyanya adalah gending pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan makna islami.

5. SUNAN DRAJAT (RADEN SYARIFUDDIN/RADEN QASIM)




Hasil gambar untuk sunan drajat
       Sunan Drajat adalah putra dari Sunan Ampel. Nama kecilnya adalah Raden Qasim. Sunan Drajat lahir di Ampel, Surabaya pada tahun 1470 M, ia bersaudara dari Sunan Bonang. Dakwah Sunan Drajat ditekankan pada bidang sosial. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat. Bidang-bidang sosial tersebut merupakan pengamalan dari ajaran Islam.
       Sunan Drajat mendapat tugas perama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog, pesisir Banjarwati (sekarang Lamongan). Setahun berikutnya, Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran, Lamongan.
       Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat ialah perhatianya yang serius pada masalah-masalah sosial. Dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Ia selalu menekankan bahwa memberi pertolongan kepada masyarakat umum serta menyantuni anak yatim dan fakir miskin merupakan suatu amalan yang diperintahkan agama Islam.
       Sunan Drajat dikenal dengan kegiatan sosialnya. Ia dikenal sebagai seorang yang bersahaja yang suka menolong sesama. Dialah wali yang memelopori penyantunan anak-anak yatim, fakir miskin, dan orang sakit. Sunan Drajat wafat pada pertengahan abad ke-15 dan dimakamkan di Sedayu, Gresik (Jawa Timur).

6. SUNAN KALIJAGA (RADEN SAHID)
 
       Sunan Kalijaga adalah putra  seorang Adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta, Sejak kecil, dalam diri Raden Sahid sudah tampak jiwa luhur yang ditandai dengan selalu taat kepada agama dan berbakti kepada orang tua, serta mempunyai sikap welas asih kepada semua orang. Ia menjadi murid Sunan Bonang, kemudian menikah dengan putri Maulana Ishak. Berbeda dengan para wali lain, Sunan Kalijaga menjadi mubalig keliling dan tidak mempunyai pusat dakwah yang tetap. Sunan Kalijaga tercatat paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah islam, seperti tembang- tembang macapat (wali lain juga turut mencipta), baju takwa, tata kota islami, serta gong sekaten (Syahadatain) di Solo dan Yogya. Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya karena wayang beber kala itu menggabarkan tentang manusia utuh yang tak sesuai ajaran islam. Sunan Kalijaga mengkreasikan wayang kulit yang bentuknya jauh dari bentuk manusia utuh. ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fikih yang dilakukan Sunan Kalijaga dalam upaya dakwahnya.
       Pementasan wayang kulit perdana dilakukan pada waktu peresmian masjid agung demak dengan Sunan Kalijaga sendiri sebagai dalangnya. Dalam wayang kulit kreasi Sunan Kalijaga, pimpinan para dewa, yaitu Batara Guru mempunyai gelar Sang Hyang Giri Nata, artinya Sunan Giri yang menata. Hal ini adalah sebagai bentuk penghormatan Sunan Kalijaga terhadap Sunan Giri yang merupakan Wali Sanga tertua pada masa itu. Cerita wayang yang merupakan kreasi Sunan Kalijaga, antara lain adalah Bima Suci atau Dewaruci, Serat Kalimasadha, dan Petruk Dadi Ratu (Petruk menjadi raja). Sunan Kalijaga ikut pula merancang  pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang"tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. pada pertengahan abad ke-15, Sunan Kalijaga wafat dan dimakamkan di daerah Kadilangu, dekat Demak.

7. SUNAN KUDUS (JA'FAR SHADIQ)
        
       Sunan Kudus adalah salah seorang panglima tentara Demak. Kemudian ia mengembara ke Tanah Suci, Mekah untuk memperdalam agama Islam. Setelah kembali dari Mekah, ia mendirikan pusat keagamaan yang diberi nama Kudus, diambil dari nama al-quds (Palestina) sehingga ia lebih dikenal dengan Sebutan Sunan Kudus. Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya.
       Ia mempunyai keahlian khusus dalam ilmu fikih, usul fikih, tauhid, hadis, tafsir, serta logika. Oleh karena itu, di antara Wali Songo yang lain, ia mendapat julukan waliyyul 'ilmi atau orang yang kuat ilmunya. Ia juga terkenal sebagai pujangga yang mengarang cerita pendek yang berfalsafah dan bernapaskan keagamaan. Semasa hidupnya, ia mengajarkan agama Islam di sekitar pesisir utara Jawa Tengah, tepatnya di daerah Kudus.
       Selain sebagai seorang wali, Sunan Kudus juga menjabat sebagai Senopati Demak. Peniggalan yang termasyhur adalah Masjid Kudus. Menaranya berbentuk candi, dan sering disebut Masjid Menara. Pada mihrab masjid ini tercantum tahun peresmian masjid, yaitu 956 Hijriah (1549 M). Beliau menciptakan berbagai cerita agama termasuk gending yang tekenal, yaitu gending Maskumambang dan gending Mijil. Pada tahun 1550 M, Sunan Kudus wafat dan dimakamkan di daerah Kudus, Jawa Tengah.

8. SUNAN MURIA (RADEN UMAR SAID)
       Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga dari istrinya yang bernama Dewi Saroh. Dewi Saroh adalah adik kandung dari Sunan Giri. Nama kecil dari Sunan Muria adalah Raden Prawoto atau Raden Umar Said. Gaya berdakwah Sunan Muria seperti ayahnya, Sunan Kalijaga, yaitu dengan menggunakan sarana gamelan, wayang, serta kesenian daerah lainya. Sunan Muria lebih menyukai tinggal di daerah terpencil, jauh dari kota. Pusat kegiatannya di lereng Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah. Ia banyak bergaul dengan rakyat jelata. sambil bercocok tanam, berladang, dan berdagang, ia mengajarkan agama Islam. Selain itu, Sunan Muria berdakwah dengan menggunakan media kesenian rakyat, yaitu berupa gamelan. Ia menciptakan gending sinom  dan kinanti. Cara yang ditempuhnya dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan mengadakan kursus-kursus bagi kaum pedagang, para nelayan, dan rakyat biasa.
       Sunan Muria sering berperan juga di Kesultanan Demak sebagai penengah dalam konflik istana. Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapa pun rumitnya. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Beliau wafat pada tahun 1560 M dan dimakamkan di atas Gunung Muria, desa Colo, Kudus.

9. SUNAN GUNUNG JATI (SYARIF HIDAYATULLAH)        
       Sunan Gunung Jati pusat kegiatan dakwahnya berada di daerah Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M di Mesir. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Prabu Siliwangi, sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah sering dirancukan dengan Fatahillah, yang merupakan menantunya sendiri.
       Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kesultana Cirebon yang juga dikenal sebagai Kesultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya Wali Songo yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunug Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai cucu Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun, ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cika bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatanya untuk menekuni dakwah. Ia adalah salah satu pembuat soko guru Masjid Demak selain Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang. Keberadaan Syarif Hidayatullah berikut kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang hidup bersama kala itu; Demak, Giri, dan Cirebon. Hanya saja, Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi Islam, sekaligus kontrol politik para wali. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum Kota Cirebon dari arah barat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar